Lara Menuju Bahagia
Oleh Veronica
“Kamu
mau jadi apa! Pengangguran! Tidur saja kerjaannya, ah ... itu juga nulis nggak
guna!” teriak Surti
Sundari
hanya diam menanggapi ocehan emaknya itu sudah hari-harinya ia menyantap cacian
dari ibunya. Bahkan sebenarnya ia bukanlah pengagguran. Ia adalah semester
lanjut sudah tahap kritis yang terpaksa dan harus menyelesaikan tugas akhirnya,
jika tidak D.O akan menghantuinya. Sundari tahu konsekuensi apa yang akan
didapatnya. Keiinginan kuatnya menjadi penulis kadang membuat pikirannya untuk
fokus pada satu hal itu. Ambisius katanya.
Padahal
setiap hari ia mengerjakan tugas akhirnya, namun selalu ada kebingungan yang dirasa. Bukan
masalah tidak bisanya. Tetapi, masalah yang menjonggol di otaknya. Statement yang mendekte dia bahwa
ini bukan keahliannya. Ini tidak sesuai keinginannya. Terus kenapa diambil,
Sun?
“Tiap
hari aku coba ngerjain. Pagi siang malam tak coba paham, tetap aja aku merasa
dodol. Apes!” gerutu Sundari.
Ia
berbicara pelan takut emaknya tahu bisa digibeng dia. Sundari tipe cewek yang
malas bergaul suka sembunyi di kamar, ini juga yang menyebabkan dirinya tidak
bisa mengerjakan tugas akhirnya. Tak mau bertanya. Usahanya lewat online
saja. Semua butuh bukti nyata bukan hanya chatting semata.
“Memang
seharusnya aku benar-benar turun tangan!” Mas Ojim kakak satu-satunya Sundari.
“Apaan
si, mas! Aku bisa sendiri!” tolak Sundari
“Bisa
gimana, Sun? Dari tahun kemarin aja belum selesai! Fokus, Sun! Nggak usah mikir nulis dulu, bisa? Mak capek dengerin
orang-orang bicarain kamu. Mak malu!” teriak maknya.
Sundari
hanya bisa menunduk, ia tak dapat mengatakan apapun lagi. Dia tahu dia sudah
mengecewakan maknya dengat sangat. Dia tahu dia tak bisa leha-leha untuk
berdiam saja. Dia harus mematahkan egonya sendiri. Membiarkan akalnya berpikir
bukan hati saja. Diputuskannya besok ia akan menemui dosen pembimbingnya.
Berharap amarah dosen pembimbingnya pun tak terlalu ketara saat bertemu dengannya. Sudah berkali-kali
Sundari di What’sApp temannya untuk hadir setiap bimbingan. Namun banyak alasan untuk bilang tidak siap. Kalau
setiap ketemu bilang tidak siap, kapan selesainya?
Malamnya
ia begadang mengerjakan revisan yang sudah dicatatkan oleh dosennya. Semangat
dia seketika melambung naik. Tekadnya sudah di upgrade rupanya biar tak
tertinggal dengan teman-temannya yang sudah bekerja atau pun melanjutkan study-nya.
“Oke!
SEMANGATTTT!” teriak sekuat tenaga. Orang orang sudah tidur jadi tidak mungkin
ada yang berkomentar tentang suaranya tadi. Semua orang di rumahnya terlalu terlelap dalam tidurnya,
nggak bisa diganggu termasuk Sundari ini.
Buku-buku
yang dipersiapkan tahun lalu sekarang dibukanya kembali. Mengaitkan teori-teori
yang tepat untuk penelitiannya. Ia juga membaca buku-buku tentang jenis
penelitian yang diambil. Agar lebih mantap jika ditanya sang dosen. Ia harus bisa menjawab
sumber yang ada.
∞
Pagi-pagi
sekali ia berpamitan pada ibunya. Rencananya hari ini ia akan memulai bimbingan
perdananya setelah sekian lam mancet total. Tadi malam ia sudah menghubungi
dosepem-nya
dan kebetulan Belaiu bisa untuk membimbingnya hari ini.
‘Tok!’ ‘Tok!’
“Tok!’
“Selamat
pagi!” ucap Sundari. Walau sedikit gugup ia coba sekuat tenaga untuk tak
membuat mentalnya jatuh. Ini konsekuensi yang didapatnya. Saat ini ia harus berani dengan apa yang
sudah diperbuatnya.
“Pagi!
Silakan masuk!” Bu Haryani menjawab. Terlihat pula tampang tak sukanya. Ini
ketakutan yang dipikirkan Sundari sejak dini hari tadi membuatnya mules keluar
masuk wc bekali-kali.
“Bagaimana?
Sudah, siap? Repot sekali, ya mbak?” rentetan pertanyaan keluar dari mulut Bu Haryani selaku
dospemnya itu.
“Maaf,
Bu. Saya sudah absen lama dalam bimbingan kali ini saya tobat. Sudah kritis
soalnya.” Jawab Sundari
“Makanya
kalau ada bimbingan ikut! Nggak keteteran kayak sekarang! Saya juga ngerusin
yang lain!” sewot Bu Haryani
“Sekali
lagi saya minta maaf. Saya akan bersungguh-sungguh,” yakin Sundari. Ia
menyerahkan draft babnya.
“Ini
banyak yang salah. Sudah saya tulisi. Baca! Perbaiki. Punya kamu banyak teori
tapi sedikit kesimpulan dari penulis, GAP-nya ditambah jangan hanya satu.” Jelas Bu
Haryani.
Meskipun
awalnya ia merasa takut untuk sekarang ia malah merasa bersyukur. Ketakutan selama ini sudah dibabatnya sendiri. Ia makin rajin
untuk melakukan bimbingan. Ia tak mau kuliahnya selama empat tahun ini sia-sia.
Setiap hari ia tekun mengerjakan revisian yang ada. Hampir setiap malam ia
begadang. Targetnya harus tercapai.
Kini tiba saatnya ia harus beriap-siap
untuk acara wisudanya.
“Sun!
Cepetan sudah terlambat mas nggak mau nanti ngepot dijalan. Mobilnya bapak
sudah dipanasin. Ayok!” teriak Mas Ojim.
“Iya,
Mas! Tungguin make sendal ini susah amat!’ tak ingin kalah ia berteriak kencang
juga.
“Cepet!
Ato tak tingal!” gertak Mas Ojim
Ini yang wisuda Mas Ojim atau aku, sih! Pake acara mau ditinggal. Emang kalau namaku dipanggil Mas Ojim mau maju? Gerutunya dalam hati.
Sundari
cewek yang sekian lama terkuku oleh ketakutan dan keegoisannya kini bisa
mendapatkan gelarnya. Usaha yang dilakukannya tak sia-sia sama sekali.
Teringat
pula ia penah jatuh sejatuhnya yang membuatnya lupa pada tujuannya. Dia benar-benar terluka kala
itu.
“Sun!
Hubungan kita nggak usah dilanjut aja. Aku sudah mempunyai pengganti!” terang Zulkifli pacar
pertama Sundari
“Kamu
putusin aku gegara selingkuhan kamu? Tega!” Sundari teriak. Ia tak menyangka
orang yang disayangi menusuknya setajam ini. Lebih tepatnya dua orang yang
disayangi, sahabatnya juga pacarnya.
“Kamu
itu ribet! Nggak kaya Alfi bisa paham aku.” Zulkifli menambahi alasan putusnya.
“Sudahlah
aku pergi!” Zulkifli berlalu dengan menggandeng Alfi. Kalian tahu ekspresi apa
yang ditampakkan Alfi tersenyum senang atas kekalahan Sundari untuk mempertahankan hubungannya.
Sundari
masih terpaku di sana. Di tepi sungai yang menjadi saksi bisu atas
kehancurannya. Berbulan-bulan sundari tak mau memikirkan dirinya yang dilakukannya
hanyalah melamun dan menonton film. Sampai suatu saat temannya mengajakknya untuk mengikuti
lomba cipta puisi tak menyangka pula ia mendapat predikat Juara 1. Di situ ia
menemukan pelampiasan yang tepat untuk putus cintanya. Ia merubah angannya yang
menjadi guru biasa menjadi penulis. Setiap hari ia mencari info-info tulisan.
Ia lupakan tugas akhirnya sampai emaknya bertindak tegas untuk itu.
“SUNDARI
PUTRI ANGGREINI LULUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS DINYATAKAN CUMLAUD PREDIKAT
PERTAMA”
Mendengar
namanya disebut lamunannya pada masa kelamnya buyar. Ia dengan napas panjang
akhirnya tersenyum lega. Pelan-pelan ia berjalan ke atas panggung untuk sekadar
mengucapkan sambutan dan terima kasih.
Benar, kegagalan bukan untuk ditakuti. Sebab darimana datangnya pengalaman jika tak pernah untuk mencoba. Tak masalah jika pertama kali kamu merasakan ketakutan untuk melangkah. Namun, selanjutnya ketika kau sudah memulai langkah pertama kamu akan berani melanjutkan langkah kedua dan selanjutnya. Orang yang gagal akan menjadi orang yang sukses, ketika mau bangkit dan terus mencoba. Tidak hanya diam dan menunggu keajaiban datang. Seperti tekad Sundari, yang mau bangkit atas kegagalannya. Mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas apa yang sudah dikerjakannya.
Sebabnya dari kita, mari berusaha terus meski kadang gagal dan jatuh datang mencoba membuat mundur kita. Tetap berani maju, oke?
Selesai
Tulungagung,
5 Februari 2020
0 Comments:
Posting Komentar
Salam cinta, mari berdiskusi di kolom komentar!