Kalau kata saya, kamu hidup pasti banyak perjalanan jika kamu tua ingin mengingatnya maka abadikan dengan tulisan.
Surat Pendek untuk Penjual Buku Bajakan dan Penyebarnya
Luapkan dengan Tulisan
Banyak di antara
kita susah untuk menjelaskan apa yang dirasa, meracau tentang segala penat yang
sudah mengacakacak pikiran hanya untuk menyiratkan segala emosi yang ada;
tangis, haru, takut, lelah, menyerah, sedih, senang, susah, ataupun emosi-emosi
yang lama tak tersampaikan. Ada yang mengekspresikan dengan kurang
benar,melakukan hal-hal memicu perhatian lain yang bahkan merusak diri sendiri.
Berbicara baik-baik saja padahal semua terasa gelap. Melakukan penyiksaan pada
diri sendiri, memberi bekas luka pada diri dengan nyata yang sebenarnya tak
dapat menyelasaikan dengan pasti. Hanya menimbulkan luka baru untuk menutupi
luka lama.
Inilah dinamakan "katarsis". Jika dalam KBBI diartikan kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis. Untuk mendapatkan kelegaan itu sangat perlu pengungkapkan, bukan? Agar tak merasa lelah dengan hal yang ada.
Nah, dalam katarsis ini ada dua sisi pengungkapan.
Satu perihal sisi baik dan dua perihal sisi negatif. Di dalam sisi baik kita
bisa mengungkapkan semua emosi kita dalam tulisan; salah satu contohnya. Beda
hal dalam katarsis buruk biasanya melalui umpatan dan
hal-hal yang dapat merugikan orang lain ataupun diri sendiri. O, ya!
Teori Katarsis ini ditemukan oleh "Sigmund
Freud" dan dikembangkan oleh "Scheff". Jadi,
perlulah kita berterimakasih kepada beliau ini karena kita bisa tau masalah
emosional itu bisa dijabarkan dengan pengungkapan yang pantas.
Tentang emosi yang tertahankan sejak lama perlu banget buat kita yang tak
bisa menjelaskan apapun ini dengan hal yang lebih baik bukan? Melewatinya
dengan kebaikan membuat kita akan merasa jauh lebih lega ketimbang melakukan
hal negatif. Sebab jika melakukan hal tersebut akan mendapatkan penyesalan yang
tak pernah kita bayangkan. Bukan menjadi solusi tetapi menambah masalah. Bukan
keluar masalah tetapi merumitkan segalanya.
Sangat tahu sekali jika tulisan ini mungkin tidak berarti bagi kalian.
Tulisan ini saya tulis untuk mengajak kepada kalian yang sedang dalam keadaan
yang berat nggak tau apa yang harusnya dilakuin. Ingin ngelakuin hal yang nggak
sesuai nalar tetapi nggak berani. Ingin macam-macam ingat dosa. Sudah di titik
nadhir, teman bahkan keluarga nggak ada yang mendukung.Ya, tulisan ini
mengingatkanmu jika luapan emosionalmu nggak harus ke hal buruk, masih ada hal
baik yang bisa memberimu kekuatan.
Tahu nggak? Banyak orang yang menggunakan katarsis media
meluapkan segala emosi. Karna menurut penelitian dari jurnal yang
berjudul "Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif Sebagai Intervensi
Depresi Ringan pada Mahasiswa" dan ditulis oleh Novi Qonitatin, Sri Widyawati, dan Gusti
Yuli Asih, mahasiswa yang mengalami depresi ringan dapat menegekspresikan
masalahnya melalui katarsis tulisan. Mereka dapat mengeluarkan apa yang
dipendamnya dan mau menyelesaikan masalahnya. Kurang lebih hasil yang diperoleh
52,17%, ini mengatakan lebih dari setengah yang berhasil mengatasi masalah
mereka.
Cukup
mudah, kok. Tulisan yang kamu tulis boleh tentang pribadimu secara gamblang
ditulis atau dengan cara dibuat seperti karya sastra. Bisa melalui puisi,
senandika, cerpen, novel, kisah inspiratif, atau bahkan prosa sederhana tentang
dirimu dan masalahmu. Iya, meski dalam menulis puisi seperti kata Eyang Sapardi
untuk tidak menulis dalam keadaan penuh emosi; baik sedih atau marah, baik
bahagia atau jatuh cinta, nggak apa-apa. Ini adalah cara pengungkapanmu, bukan?
Jadi, lakukan saja. Buat tulisan yang bagus dan dapat menginspirasi. Gimana
mulainya? Dari belajar mengungkapkan segala yang terpendam dalam tulisan. Bisa
jadi ini juga cara melatih kamu untuk menulis. Barang yang sering dilatih bisa
menjadi tajam, kan?
Untuk kalian,
selamat mencoba! Kuharap kalian bisa menjadi lebih baik dari sekarang.
Salam hangat dariku.
Mya Veronica
Orang suka
cakap-cakap nggak jelas kaya gini, heheheh.
Elegi Wisuda Tahun 2020
Elegi Wisuda Tahun 2020
Lumayan lama berita tentang virus yang menyebar ke seluruh dunia, semua
dipenuhi ketakutan saat satu persatu nyawa manusia tumbang. Tak ada kapan pasti
wabah ini akan berakhir. Akibatkan pula segala kegiatan dialihkan dalam sebuah
kata “online”. Semua tatap muka dialihkan dengan tatap layar. Jabat tangan
dirubah sapaan udara, tanpa memegang. Hal inilah, dibuatnya murung untuk para
murid yang sedang menempuh pembelajaran, apalagi murid yang sedang berjuang
untuk mencapai titik baru dalam hidupnya. Perayaan akhir setiap tahap biasanya
diiringi dengan kata “meriah” berganti sepi penuh khidmat. Tak ada suara
nama-nama yang tersebutkan untuk menuju panggung. Adanya media layar untuk
mengukuhkan para murid yang sudah lulus itu.
Tak ada lagi pengalihan kucir, tak ada hangatnya peluk tangan dari orang yang
berjuang dalam mencapai titik ini, kelulusan. Sungguh mendramatisir jika tangis
haru pecah dan tumpah ruah di pelataran sekolah. Menikmati pesta pergantian
jenjang pendidikan ataupun penempuhan jalan kehidupan lain.
Para guru dibuat kalang kabut, memikirkan ide apa sebagai pengganti wisuda
nyata ini. Kehidupan murid, kenangan murid perlu sedikit perayaan bukan?
Sebagai modal kenangan di usia senja kelak, atau modal saat menjadi pengingat kita di masa depan. Mungkin dari pada ditiadakan lebih memilih melanggar batas sedikit dengan penyederhanaan perayaan, dengan panjat doa bersama nasi kuning penghiasnya.
Mengkolaborasikan ide guru dengan orang tuanya. Menjadikan tempat bernaung
berubah tempat pengukuhan teritimewa. Semua dihiasi, semua bentuk sedemikian
rupa hingga sama persis seperti wisuda sebelumnya. Cukup mewah sekali, bagi
mereka. Menggunakan layar gadget sebagai awalnya. Indah sangat, sebab
kesederhanaan ini belum bisa dinikmati semuanya.
Bagaimana pedesaan terpencing, tanpa gadjet? Apakah peniadaan wisuda tak membuat
mereka hampa? Perayaan atas semangat juang mereka, mempertahankan pendidikan
mereka, batas tempuh mereka? Apakah kata sunyi tepat untuk ini?
Bukan seharusnya sama adilnya dengan yang lain, menikmati kesederhanaan
wisuda? Apakah pelanggaran batas akan membuat mereka disebut egois? Bisakah
perkumpulan sebatas guru dan murid akan ditonton sebagai tindakan tidak
terpuji. Memungkinkan mereka dihujat lebih dan lebih.
Sebab, tetap saja perpisahan akhir perlu dikenang. Sebab tak ada lagi tangis haru bahagia untuk ini. Kenelangsaan, masih menyelimuti. Sedikit keegoisan menjadi penenang sementara.
Untuk kalian yang menjani wisuda online, pun kalian yang tak pernah
merasakan apapun.
O, Corona! Pernahkah engkau tahu
Di balik toga, ada haru yang disembunyikan
Di balik kucir, ada lega yang ditunjukkan
Di balik nama yang tersebutkan, tangis haru keluar
Ada banyak rasa yang keluar untuk sebuah “wisuda”
Hal yang dinantikan setelah pengukuhan, senyum merekah begitu menawan
Ingat berapa keras kita mengusahakan
Namun, sejak engkau datang, menghilanglah tangis haru gembira berganti
sesak tangis menahan lara. Nyawa banyak tumbang dan kau semakin ketara
______
Sampai jumpa di lain post, kawan. Semoga tulisan ini bermanfaat. Entah bermanfaat
untuk apa. Hahaha. Selamat membaca!
Salam hangat dariku
Mya Veronica