Secuil Kisah Annissa
Serabut akar Teki yang kupegang kini kuamati. Dalam kehikmatan aku mulai berpikir, bisakah aku menancap pada tanah sekuat ini?
Sesaat kumelamun, tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku.
Ia bertanya, "Sedang apa, Nis?"
Aku terkaget mendengar suara yang tak familiar itu hingga aku berjengkit. Suara ini adalah suara sahabatku, Abigail Ahmad Idris. Kupanggil ia Bigail.
"Astagfirullah! Kau mengagetkanku, Bigail!" protesku.
Lantas aku hanya menggurutu melihat tingkahnya yang banyak menasehatiku. Padahal kami berdua sama. Memikirkan sesuatu tanpa ujungnya. Dia itu juga pemikir, mister sibuk. Mengolah apapun untuk menjadi bahan penelitiannya. Sedang aku disuruh menjadi asistennya.
Usai saling gerutu itu aku mengajak Bigail untuk ke kantin karena ini memang waktu istirahat. Banyak orang yang memandang syirik kepadaku, semua karena keirian mereka yang tak bisa berteman dengan Bigai. Sang penyabet juara umum di sekolah setiap tahunnya. Sudah jelas dia pintar sekali, bukan. Aku hanya diam melihat tatapan mereka. Kulanjutkan perjalananku menuju bangku kosong depanku itu. Aku menarik Bigail untuk segera duduk. Meskipun aku diam dengan ocehan dan bisikan pedas mereka, aku merasa risih juga. Saat duduk aku mencoba berbicara dengan Bigail.
"Aku eneg dengar mereka menggosipiku, Bigail! Hanya karena tampangku pas-pasan tidak bisakah kuberteman denganmu dalam keadaan damai?
"
"
"Nggak usah didengerin kata mereka! Dari pada ngeresap omongan mereka kamu buat gebrakan anyar yang mengunci mulut mereka." kata Bigail.
"Tetapi apa yang harus kuperbuat?" tanyaku
"Kamu tahu kutipan dari Imam Al-Gozali? Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Jadi jika kamu merasa dirimu bukan siapa-siapa, maka menulislah! Ikatlah ilmu yang kau punya dengan menulis. Karena dengan menulis kamu membuat sejarahmu sendiri dan dengan menulis membuatmu banyak membaca tak ada tulisan yang lahir dari orang yang tak membaca," Bigail menasehatiku panjang lebar. Aku hanya menyimaknya.
Usai sudah perbincangan itu, akhirnya kami segera memesan makanan. Perutku sudah keroncongan sejak tadi. Berdemo meminta makan sudah terjadi beberapa menit lalu, membuatku malu pada Bigail yang mendengar erangan perutku. Hasil perkataan Bigail ialah ketekadanku untuk menulis. Mulai saat ini aku harus membaca banyak buku lalu menuangkannya dalam kumpulan kata yang akan bermanfaat nantinya.
Tak ada salahnya kita memilih cita-cita lain, namun alangkah lebih baiknya selagi mengejar cita kamu juga menulis. Menulis dan membaca menumbuhkan semangat literasi.
Vee
***
Selesei
Tulungagung, 21 September 2019
0 Comments:
Posting Komentar
Salam cinta, mari berdiskusi di kolom komentar!