,

Cerpen "Undangan dari Alas Purwa"

Undangan dari Alas Purwa
Oleh Veronica


Siang itu tampak biasa saja. Semua terlihat normal. Guru-guru mengajar di kelas dan yang lain berdiam di kantor menyiapkan bahan ajar mereka. Aku pun masih nampak santai, seperti bagian guru penunggu di kantor. Berbincang tentang liburan guru kali ini.

"Kita mau ke mana?" tanya Bu Tutik, guru matematika. Guru yang paling bersemangat untuk berlibur. Bagaimana tidak setiap hari waktunya dihabiskan untuk angka dan rumus. Membosankan!

"Entah," jawan Pak Karni, guru sejarah. Ia tampak menjawab dengan parau tak ada semangat sama sekali.

"Alas Purwa, saja," entah siapa yang mengatakan.

Jantungku berpacu cepat. Ini ide gila! Kenapa harus ke sana. Apa yang dipikirkan guru itu? Alas yang wingit itu malah ingin dikunjungi. Pikiranku kacau. Hawa kantor pula sudah berubah aneh, dingin mencekam.

"Bu Mya, waktunya mengajar. Kasian anak-anak menunggu Anda!" Bu Isti mengomandoku segera ke kelas, fiuh! Aku bisa bernapas lega. Pikiran negatifku dibayar wajah ceria murid yang sudah menungguku.

Melihat jam tangan yang kupakai, kegiatan melamunku tadi sangat menguras waktu. Ku putuskan mengambil jalan pintas dengan memakai pintu belakang.

Di sekolah ini setiap ruangan ada 2 pintu. Depan dan belakang. Pintu depan biasanya dipakai pada umumnya murid dan guru. Sedang pintu belakang jarang dipakai karena jalannya bersentuhan langsung dengan kebon. Kebon yang lebat, begitu menyeramkan. Pilihan buruk jika memakai pintu itu. Entah mengapa aku memakainya.

Aku berjalan cepat menuju kelas. Semua anak tampak patuh segera membuka pelajaran Tematik Tema 6. Mereka mendengarkanku, maka itu aku menyayangi mereka. Tak ada pemberontakan sama sekali seperti murid kelas lain.

Usai waktu mengajar, waktunya pulang. Pikiran tentang Alas purwa masih menggelayuti. Seakan itu adalah undangan besar untuk kami. Aneh guru penyebut alas itu saja belum diketahui.
##
Alam menunjukkan sisi gelapnya. Kumandang adzan tanda penyambutan petang terhadap malam yang akan datang. Langkahku kujejakan menuju kamar mandi. Masih remang-remang karna lampu belum dinyalakan.

Ada yang aneh. Suara gemericik air jatuh sangat terdengar nyata. Bahkan, tambah deras ketika aku semakin mendekat. Rasa penasaran ini bertumbuh lebat bersama was-was yang menjalar di setiap bulu kudukku. Aku sudah merinding.

Aku mendekat. Semakin mendekat. Penasran dan ketakutan membuatku berani melihat lebih jelas. Terlihat bagian kaki yang mengambang.
'Deg' mengambang! Kaki!

Teringat kata mbahku dulu, "Lek surup setan podo metu! Ati-ati!"

Ku beranikan menengok lebih jauh. Set! Dia berlari ke arah Barat. Perempuan sudah dipastikan. Tidak biasanya hantu ke mari. Aku makin menguatkan peganganku pada tembok.

"Buk, ono demit!" teriakku. Tubuhku lemas tak berdaya. Ketakutan sudah merasuki diriku.

"Endi?" tanya Ibuk

"Sudah kabur," ucapku lemah.

Ibuk menuntunku ke jalan pulang. Kamar mandi kami memang jauh dari rumah. Terkesan angker sudah umum dinyatakan oleh semua penghuni rumah. Juga, para tetangga.

###
'Deg'

Suasana tempatku tiba-tiba merasakan hal mistis menguat. Entah siapa yang merubahnya aku dan ibuk sudah berada di Alas Purwa bersama rekan kerja lainnya. Perubahan dimensi yang tak pernah kuduga.
Berarti undangan alas purwa itu nyata. Aku semakin ingin pulang tapi bagaimana caranya.

Tempat kami semua seperti sudah diatur. Guru-guru lain di bawah pohon dekat danau. Aku dan bersama orang asing sudah berada di atas ranting pohon. Ada suara menggema.

"Jika kau ingin pergi dari sini, ikuti kompetisi kematian. Bagi yang lolos akan pulang selamat. Sedang para pecundang akan di sini selamanya!!" suara itu menggegar.

Entah adrenalin dari mana, aku mencoba melompati dari pohon ke pohon. Sebab, setiap pohon yang kupijak akan tumbang. Aku bisa jatuh ke air yang dalam itu. Parahnya jarak antar pohon kurang lebih 2 meter. Sial!

Ku paksakan untuk berani, lompatanku berjalan terus. Menuju pondok. Rumah kayu di atas air. Seperti kompetisi semua menginginkan kemenangan. Jika dilihat dari posisi tempat berpijak awal aku lebih unggul. Mereka berada di air saat tanah tiba-tiba berubah horisontal.

Sampai! Aku sudah menuju pondok.
"Sampai di sini kalian harus bisa menjawab pertanyaanku. Ketidakbisaan itu membuatmu berjalan tenggelam di air. Hahahahaha!" suara besar itu kembali hadir.

2 teman guruku sudah menyelesaikan kompetisi ke dua. Aku berniat menjawab dan benar! Aku melihat di samping ibukku. Tak mungkin dia harus di sini.

"Aku ingin ibuku yang meninggalkan hutan ini. Aku tak ibuku di sini," jawabku atas permintaan apa yang kubuat.

"Baiklah, aku kabulkan. Dan, kau! Cepat masuk ke air!" sial demit ini kejam. Aku harus masuk ke air berjibaku bersama hewan buas gila di dalamnya.

Airnya sangat keruh. Sangat menyebalkan. Aku yang tak bisa berenang tiba-tiba saja bisa. Aneh. Aku harus melewati arus aliran ini dengan buaya di bawahku. Bisa saja aku dimakan. Kekalutan masih menjumpaiku. Benar-benar mengerikan!

###

"Veee!"
Suara teriakan itu terdengar nyata. Bagaimana bisa suara ibuk masih berada di sini.

"Bangun! Udah pagi! Jangan molor! Bangun! Kamu itu anak perempuan! Kerjaanya bangun siang!" lantang suaranya, membuatku membuka mata.
Kamar! Sial peristiwa aneh itu sekadar mimpi burukku.
 

3 komentar:

Salam cinta, mari berdiskusi di kolom komentar!