,

Cerita Puasa: Tragedi Secuil Daging

    


    Tidak hanya kamu saja yang memiliki pengalaman berpuasa, aku pun. Kala itu aku berusia enam tahun dimana belum bisa mengetahui mana yang benar dan salah. Slalu menurut apa yang dikatakan Ibu. Ya, ibulah yang mengajarkanku apa itu puasa. Sudah sejak kecil aku diajarkan untuk belajar berpuasa, dimulai puasa mbedug yang artinya berpuasa namun pada bedug atau tengah harinya berbuka lalu dilanjutkan puasa. Dari nol kecil sudah belajar puasa mbedug kemudian di nol besar atau bisa disebut TK B puasa sore. Seperti adikku yang masih kecil pun diajari berpuasa seperti waktu aku masih kecil.

    Awalnya puasa sore di Ramadan pertama untuk mereleasekan puasa sore perdanaku lancar jaya, tak ada halangan. Aku bersemangat sekali. Namun, sangat disayangkan untuk hari ketiga ketika aku diajak nonggo, berkunjung ke rumah tetangga untuk berbicara ini itu tepatnya rumahnya di depan bengkel motor samping kanan rumah hal tak terduga terjadi. Rasanya pada saat itu, aku terlalu nurut, sampai diiming-imingi hal manis nurut saja.

    Berkat secuil daging yang langsung masuk ke tenggorokan, puasa soreku batal! Sungguh membagongkan bukan? Pada jam tiga kurang tiga jam lagi berbuka harus batal karena secuil daging tanpa rasa yang ngalir langsung tanpa perlu dikunyah masuk dengan sopannya ke perutku. Jika kuingat bagaimana awal mulanya, aku harus memutar otakku. Membuka, me-refresh lagi, lagi mengobrak-abrik folder lama di dalam otak. Mencari kejadian delapan belas tahun silam.

...

    "Mi, arep daging?" kata Palupi sambil mengunyah daging yang sebagian dipeganya, ditaruhnya di dalam baskom kecil berwarna abu-abu berbahan alumunium. Ia mengenakan kaos dalam oblong putih dan celana pendek berwarna kuning.

    Aku memerhatikan sebentar, menatap Palupi yang memakan daging itu penuh lahap. Di sampingnya ada kakak dan temannya yang ikut memakan daging. Tanpa sadar aku memakan air liurku sendiri. Glek.

   


    "Ndak! Aku poso nko batal" itu jawabanku pertama, mencoba untuk tidak tergoda meskipun itu sangat menggoda sekali. Bayangkan saja di saat-saat kritis memasuki waktu berbuka, kau disuguhkan pada pemandangan menggoda yang bisa membuatmu meneteskan air liur.

    "Ora batal, wong mek sak iris elo. Titik ki jajalen!" Palupi meyakinkanku lagi. Kali ini dengan perkataan bahwa jika memakan sedikit pun tak akan batal karena tidak terasa.

    "Mosok, ta? Nko diseneni ibukku aku!" aku mulai ragu dengan menggunakan tameng ibuk, agar mereka tak memberikanku irisan kecil daging itu. Sayangnya, perkataanku malah membuatnya memberikan irisan lebih kecil agar aku bisa mencicipi, lalu meyakinkanku dengan ucapan manisnya.

"Westo, ojo omong ibukmu nko nggak batal."

    Sekejab mendengar ucapan itu, seakan membuatku terhipnotis. Percaya saja jika kita tak berbicara tentang sepotong daging kepada ibu bakal membuat puasaku tetap sah-sah saja. Aku mulai menangkap uluran tangan itu, sedang ibukku sedang berbicara di teras rumah tertutup oleh mobil yang berada di depannya. Sedang aku, Palupi dan teman lainnya berada di samping mobil kiri agak mojok.

Aku mengambilnya dengan ragu lalu perlahan kumasukkan irisan itu di mulutku bukan dikunyah langsung saja tertelan di dalam tenggorokan dan masuk ke dalam perutku, setelah selesai pada irisan daging kecil itu ibuku datang menanyakan apa yang kulakukan sehingga terlihat sembunyi-sembunyi.

"Nyapo tasan? Ayok muleh!" ajak ibukku untuk pulang.

       Tiga jam setelahnya aku berbuka, lalu mengatakan jika aku memakan irisan daging itu. Seketika itu ibukku marah, berkata jika puasa sudah batal ketika memakan irisan daging itu.

    "Ngunui posomu batal, lek diweki ojo gelem lo. Ngerti? Mbok titik panggah mbatalne poso. Ngerti?" ibuk menasehatiku, sedikit keras hingga aku nangis sesenggukan. Mana tahu jika itu bisa membatalkan puasa meski daging itu yang langsung tertelan. Nyatanya aku tak bisa berbohong, tetap saja aku mengatakan kejadian tadi.

    Meskipun marah, ibuku menasehatiku jika puasa itu tidak boleh makan minum apapun meski itu sedikit karna tetap bisa membatalkan puasa. Gara-gara irisan daging itu, aku pun tak bergaul lagi dengan pemberi irisan daging selama puasa. Takut batal lagi, gegara pemahaman dan mudah tergoda ini.

...

"Ah! Tragedi secuil daging!"

Sebuah cerita yang sampai saat ini terus terngiang dalam otakku, ah tragedi penuh kenang sepanjang masa.

0 Comments:

Posting Komentar

Salam cinta, mari berdiskusi di kolom komentar!