, , ,

Penyakit Kronis Literasi, Plagiarism Semakin Menggrogoti

    


    Bukan barang baru mengenai penyakit kronis dalam bidang literasi, sudah menjadi rahasia umum plagiarism menjadi momok bagi pegiat literasi. Kurangnya penekanan hukum yang pasti tentang plagiarism membuat para pelaku plagiasi atau plagiator dengan mudahnya melakukan hal yang membuat kerugian. Ini juga bisa menyebabkan kreativitas pelaku pun menurun dan kualitas dari sebuah tulisan akan rendah. Tak hanya dalam ranah sastra saja plagiarism terjadi, baik di ranah non sastra plagiarism juga semakin marak. Bahayanya, pelaku malah ditemukan di bidang akademisi, karya ilmiah, tugas akhir sering kali menjadi sorotan plagiarism. Di sisi lain di bidang sastra plagiarism terjadi sangat sering. Baru-baru ini menjadi perbincangan hangat para penulis tentang plagiarism yang diakui pelaku kemudian setelah menyangkalnya bahkan penerbit dari pelaku plagiator membelanya.


    Aneh dan sangat disayangkan jika plagiarism ini tidak ditindak dengan tegas. Melihat kasus yang terjadi rupanya plagiarism dianggap barang remeh yang sering dilakukan. Abainya terhadap hukum tentang plagiarism, membuat pelaku plagiarism seakan menganak pinak. Bahkan, bibit pelaku plagiarism semakin banyak. Contoh kecil dalam plagiarism mengambil gagasan penulis lain yang menurutnya bagus, kemudian diakuinya menjadi miliknya sebagai caption bagus untuk media sosialnya. Menginginkan dirinya seakan bijak padahal itu bukan buah pemikirannya. Hal yang dianggap sepele seperti ini, juga termasuk plagiarism sejatinya


    Sebelum membahas lebih banyak tentang plagiarism, apa sebenarnya plagiarism?

    

    Menurut kamus Oxford, plagiarize is copy another person's work, word, ideas, etc and pretend that they are your own. Jika diartikan plagiasi adalah menyalin pekerjaan, kata, ide, dan lain-lain yang kemudian berpura-pura atau mengakuinya jika itu miliknya. Melihat artinya saja sudah jelas ini perbuatan yang tidak dibenarkan menyalin pekerjaan orang lain kemudian diakui miliknya sendiri, sama saja mencuri pekerjaan itu. Pandangan dari penulis jelas plagiarism adalah pencurian sebuah karya baik pekerjaan, ide, atau hal apapun yang sangat merugikan bagi pemilik karya karna diakui oleh orang lain.


    Plagiarism secara mata terbuka sudah tidak dibenarkan, padahal sudah ada undang-undang yang mengaturnya berdasarkan pasal 113 UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman emat tahun dan denda paling banyak satu milyar rupiah. Denda yang termasuk luar biasa besar tetapi tidak memuat jera para pelaku plagiasi, benar-benar memprihatinkan! Sungguh berani para plagiator ini, ya?

    Namun, kenapa dengan adanya UU Hak Cipta masih terjadi plagiarism?

    

    Dinamakan plagiasi jika sudah menjadi milik melalui pembuatan hak cipta, yang demikian harus mengurus bebagai dokumen yang ada. Tidak semua paham tentang pendaftaran hak cipta, meski begitu jika penasaran bisa mendaftakan di E-Hakcipta untuk mendaftaran sebuah produk atau karya atau hal ang diakui milik. Namun, harus menunggu diterimanya status akun tersebut.

    

    Pendaftaran seperti ini juga termasuk hal yang menyulitkan terkadang. Sehingga tak semua orang membuat hak cipta atas karya yang dimiliki. Tidak hanya begitu, jika plagiator sudah memiliki pengikut banyak, apa yang dibuat sudah terlanjur dipercayai oleh para pengikut mereka sehingga kemungkinan besar malah menyerang pihak korban. Status tinggi atau kedudukan tinggi membuat ego plagiator tidak mudah mengakui perbuatannya.

    

Sanksi sosial yang didapatkan tidak membuat para pelaku jera, kepercayaan diri yang meningkat dan kepopulerannya dianggap sebagai senjata pemebelaan para pelaku. Sangat disayangkan jika para pelaku ini malah dibeli sedemikian rupa. Jangan sampai juga penerbit yang malah mendukung tindakan pelaku ini. Ini malah membuat semakin menjadi-jadi, membuka lahan yang luas bagi plagiator.


Lantas sebagai pegiat literasi, tindakan apa yang tepat?

1. Mematenkan hak milik atas karya yang dibuat.

Meski terlihat tidak mudah ini perlu dilakukan demi menjaga karya dari tindakan plagiasi, dengan mematenkan hak kita memiliki hak untuk menuntuk para plagiator yang berulah.


2. Menyadarkan publik tentang tindakan plagiasi yang sangat merugikan para pemilik karya.

Baru-baru ini pula banyak penulis yang bekerja sama mengkampanyekan tentang #saynotoplagiarism. Mengajak seluruh pegiat literasi untuk tidak melakukan plagiasi karena sangat merugikan dan membuat menurunnya kualitas SDM dari generasi penerus bangsa.


3. Selalu mengecek tulisan sendiri sudah tidak tercampur plagiasi atau tidak.

Banyak cara untuk meninjau tulisan sendiri dengan check online, misal bisa melalui plagiarism checker, plagiarism detector, dan situs lainnya yang bisa digunakan untuk mengeceknya.


4. Cara terakhir yakni melakukan pelaporan secara resmi agar ditindak melalui hukum yang ada.


    Melalui tindakan yang bisa dibuat sebagai pencegahan terjadinya plagiarism yang sudah menganak pinak dan menjadi barang biasa bagi pelaku plagiasi. Diharapkan dengan sadarnya plagiarism yang membahayakan segala pihak, mejadi semakin berkurang. Mari galakkankan hastag #saynotoplagiarism untuk menyadarkan semua puhak tentang bahaya palgiasi dalam bidang literasi ini khususnya.


    Ingat plagiarism merupakan tindakan pencurian, yang mana tak akan bermanfaat sama sekali sebuah hasil curian itu. Jangan tunduk adanya plagiarism, baik akademisi, penulis, atau pihak lainnya. Tetap saja plagiarism sebuah pelanggaran etika berat.



Salam Literasi!

Salam Hangat!

Obral Kata Veve




0 Comments:

Posting Komentar

Salam cinta, mari berdiskusi di kolom komentar!