Surat Untuk Kamala
Seluas
apapun langit ketika hati tak bisa berpaling pada lalu
Seakan
menjadikan langit itu sempit
Karena
setiap temu menjadikan kita berbalik pada lalu
***
Sudah satu tahun wanita itu mengurung diri, berkali – kali
sahabatnya menghiburnya dan membuatnya bangkit. Namun, sama sekali tak ada
perubahan berarti. Cukup sekali kepahitannya dalam memahami cinta membuat jati
dirinya seakan hilang. Dulu sekali, wanita itu merupakan sosok yang ceria dan selalu
aktif di organisasi mana pun. Ia terkenal sosok yang bersahabat, terbuka dan
mudah bergaul. Tutur katanya yang lugas dan santai membuat teman – temannya tak
sungkan mengajaknya berbicara. Sesekali diskusi kecil akan terjadi saat mereka
membahas topik – topik hangat yang terjadi di negeri ini.
Tok
tok tok . . . . .
Suara pintu kamar wanita itu diketuk sekali lagi. Sudah tiga kali
pintu kamar itu diketuk tetapi tak ada jawaban sama sekali.
“Kamala! Nak, ini ada teman kamu datang, Ibu mohon buka pintunya!”
kata Ningsih, Ibu Kamala. Wajah berkerut dengan tatapan nelangsa melihat pintu kamar putrinya.
“Nak, kamu berada di dalam kan? Ndak baik kamu mengurung
diri terus. Kasihan Ibu Nak,” kata Ningsih sekali lagi.
“Biar aku saja Bu, yang membujuknya,” kata pemuda bersuara berat itu. Kira-kira umur pemuda itu sejajar dengan Kamala, menginjak umur 20 tahunan.
“Makasih, Nak. Semoga Kamala mau untuk keluar dari kamarnya,” lirih
Ningsih kemudian berjalan pergi meninggalkan pemuda itu.
Pemuda itu mengambil alih nampan makanan yang dibawa oleh ibunya
Kamala. Ia kemudian memanggil Kamala sekali lagi.
“Mal! ini aku Rayhan. Kamu nggak lupa, kan? Ayuk buka
pintunya. Ada sesuatu yang harus aku kasih tahu,” kata Rayhan.
Namun tak ada jawaban malah suara seorang wanita yang menangis.
Mendengar itu Rayhan berteriak .
“Mal! Please jangan kayak
gini! Kamu nggak boleh nyiksa diri kamu sendiri. Mal! Buka pintunya! Kamu harus
tahu masalah sebenarnya!” teriaknya. Rayhan mungkin sudah terlalu frustrasi menanggapi sikap Kamala seperti ini, tidak hanya Kamala yang pedih. Rayhan malah lebih pedih lagi perasaanya. Rahasia itu haru segera dibongkar, pikirnya.
Krieett… Suara pintu terbuka sedikit dan Kamala masih sesenggukan menahan
tangisnya. Rayhan yang tahu itu segera membuka lebar pintunya. Ia segera duduk
di sisi kanan ranjang Kamala.
“Mal, Sudah setahun kamu kayak gini. Kamu nggak bisa nyiksa diri
kamu sendiri, Mal. Please, jangan jadi orang lain! Mana Mala yang dulu?”
kata Rayhan sambil mengelus pundak Mala. Ia meletakkan nampan makanannya di
laci samping tempat tidur Kamala.
“Ray… hiks…,” Mala sesenggukan. Lidahnya kelu untuk mengatakan
keluh kesahnya. Ia hanya bisa menangis dan menangis mengingat kenangan lalu itu.
“Mal! Please berhenti
nangis ya? Aku nggak kuat lihat kamu kaya gini,” kata Rayhan sendu.
“Dia jahat, Han! Aku benci dia!” kata Mala lirih.
Dua kata ini sedikit menyayat hati Rayhan. Mala sudah membenci dia.
“Mal? Nggak ada kata maaf kah untuk dia?” tanya Rayhan.
“NGGAK! DIA JAHAT!” teriak Mala. Respon Kamala yang biasa disapa
Mala ini membuat Rayhan termenung.
Rayhan menahan napas sebentar dan membuangnya secara kasar.
Terdengar helaan napas panjangnya. Ia tak tahu apa yang akan menjadi
keputusannya kini, menjadi hal baik baginya atau malah sebaliknya. Ia ingin
mengubah mindset Mala tentang
seseorang itu. Ia tak bisa membiarkan Mala terlalu larut dalam kebenciannya.
“Mal, ada sesuatu yang harus aku sampaikan padamu. Kuharap ini bisa
membuatmu terlepas pada lalumu. Jangan memaksa diri jika kamu belum siap
membukanya!” Rayhan menyerahkan sekotak kado pada Mala.
Mala dengan ragu menerimanya. Ia mengernyitkan dahinya ketika
sebuah nama terpampang dalam sebuah tulisan diatas kado tersebut. Teruntuk Kamala Safitri Renjani. Tertulis
dalam sepucuk surat itu.
“Apa ini?” tanya Kamala ragu.
“Ini untuk kamu. Kamu bisa membukanya. Tapi jaga mental kamu jika
ingin membukanya. Kamu harus kuat, Mal.” Tutur Rayhan.
Kamala ragu. Namun ia tetap membukanya. Sedikit kotak itu terbuka.
Terlihat benda yang membuatnya menutup mulutnya. Lantas, seketika itu Mala
membukanya dengan cepat. Ada sebuah kotak musik, surat, dan cicin. Kamala
mengenal cincin itu. Matanya memanas, tak kuat ia menahannya. Ia kembali
terisak.
“Han! Apa ini?” Kamala terisak.
“Ini dari dia! Jangan kau buang! Baca dulu ya,” kata Rayhan lirih.
Mala dengan tangan bergetar mengambil cincin itu, cincin yang sama
ia pakai saat ini. Cincin kenangan terhadap seseorang yang menyakitinya. Membuka
lintasan ingatannya pada dia. Dia yang telah mengkhianati Mala.
Flashback
on
Malam itu di mana Mala dengan seseorang yang dicintainya membuat
janji untuk bertemu di Cafe Camarable. Mala dengan hati berbunga – bunga pergi
ke tempat itu. Tak disangka ketika ia hampir sampai pada meja di mana mereka
janjian, Mala melihat adegan yang membuatnya remuk. Tentang seseorang yang
memperlihatkan kemesraan mereka tepat di hadapan Mala. Sosok itu dengan tega
mencium wanita yang dibawanya di hadapan Mala. Mala kaget dan langsung menampar
dia dan berlalu di hadapan mereka. Padahal dialah yang mengajak Mala bertemu.
Tapi siapa sangka, bertemunya kali ini dengan sosok yang dicintainya sebagai
awal kehancurannya. Sungguh tega sosok itu meremukkan hati Mala hingga tak bisa
disatukan kembali.
Flashback
off
“Aku nggak mau, Han! Dia itu pengkhianat!” kata Mala penuh benci.
“Please, Mal. Baca dulu ya? Sebelum kamu buang,” kata Rayhan
yang tahu Mala meremas surat itu. Mala semakin ragu. Namun, ketika melihat mata
Rayhan terdapat sebuah permohonan yang mendalam, Mala membuka surat itu dan
mencoba membacanya.
‘Teruntuk Kamala Safitri
Renjani’
‘Wanita
yang sangat kusayangi setulus hati’
“Bohong kamu!” Mala menangis.
Aku
tahu saat ini kamu sangat membenciku…..
“Jika kau tahu kenapa melakukannya?” tanya Mala lirih.
Luka
yang kutorehkan padamu teramat dalam dan begitu menyakitkan. Aku sadar,
kesalahanku padamu begitu fatal hingga tak ada maaf di dalamnya. Mala, kau
ingat aku pernah mengatakan bahwa kau adalah matahari bagiku.
Kau tahu kenapa aku mengibaratkanmu matahari? Kau itu motivasiku, membuatku selalu tersenyum dan membuatku untuk selalu semangat dalam menjalani hidup. Mala, aku tahu luka sulit disembuhkan. Perlakuanku padamu itu juga menyiksaku. Aku sangat bersalah padamu. Aku membuatmu terjun pada lubang hitam dan tak bisa membuat kembali. Aku ingin sekali membantumu bangkit dan menguraikan segala benang kusut yang membuatmu seperti ini.
Mala, saat kau membaca surat ini aku mohon maaf padamu, aku membuatmu menjadi begini. Tapi disana sudah ada Rayhan kan? Dia akan menjagamu setelah aku. Adikku itu, hehehe.... Dia sangat menyukaimu, Mal. Coba buka hatimu untuk dia ya? Aku tak bisa menjagamu lagi.
Mungkin
kau bertanya kenapa aku berubah seperti itu? Mal, saat aku melakukannya pada
Malika, itu karena kesengajaanku padamu. Aku membuatmu membenciku. Karena aku tahu,
jika kau kehilanganku kau akan lebih sakit dan tak bisa melupakanku. Mala, saat
itu aku mengidap kanker otak stadium akhir.
Hidupku
tak banyak tersisa. Aku tak ingin menjadi bebanmu. Semua kulakukan untukmu agar
kau tak mengingatku. Aku kira ini saat yang tepat untuk melakukannya.
Penderitaanku akan habis. Aku tak perlu mengkhawatirkanmu lagi. Sayang itu
bukan intuisi salah yang kusengaja, itu malah membuatmu hancur. Hancurmu itu
membuatku semakin terpuruk dalam rasa kebersalahanku.
Mala,
saat kau sakit, aku lebih merasakan sakit yang teramat. Keadaanmu yang begitu
buruk, memaksaku ingin menemuimu. Namun aku sadar, bukan aku yang harus datang
padamu. Karena kau akan semakin terjun ke dalam luka itu. Maka aku hanya bisa
diam melihatmu dari jauh. Aku tahu setiap hari kau hanya mengurung diri di
kamar dan Rayhanlah yang selalu memberimu semangat. Aku tahu itu.
Mal,
saat kau membaca surat ini, aku ingin kau
bangkit dan bahagia kembali seperti Mala yang kukenal dulu. Mal, kau itu
matahari bagi orang banyak. Jangan pernah kau redup! Karena mereka tak bisa
hidup tanpamu. Selalu bersinarlah, Mal. Aku akan membawa cintaku padamu ke
dalam sanubariku. Ajal yang menjemputku pun tak sanggup merusak cintaku padamu.
Terima kasih untuk hari indahku bersamamu. Terima kasih atas torehan cerita
yang takkan pernah kulupakan.
Mal,
berbahagialah dengan seseorang yang selalu mendampingimu. Maafkan aku!
Muhammad
Sofyan Hanan
(Orang
yang selalu menuliskan namamu di dalam hatinya)
Tetes air mata membasahi kertas, seakan menghapus tiap bait yang
tertulis. Menjadi kabur. Mala memegang erat tulisan itu. Ada rasa yang hilang
di dalam hatinya. Kebenciannya terhadap Sofyan kabur dengan sendirinya. Ia
bergetar. Matanya menetes lebih deras. Isak tangisnya semakin kencang. Sofyan
yang ia ketahui sebagai pengkhianat ternyata sosok rapuh yang membutuhkannya.
Ada penyesalan terhadapnya. Lantas, bagaimana jika sesal kini tak ada artinya.
Dia telah pergi bersama segenggam memori kenang indah yang terlukis di dalamnya.
“Han, tunjukkan di mana tempatnya sekarang!” rengek Mala.
“ Tapi, Mal…!” ucap Rayhan.
“ Please Han! Antarkan
aku!” pinta Mala.
Rayhan yang tak kuasa akan hal itu, mengantarkan Mala pada tempat
peristirahatan Sofyan sang kakaknya sekaligus kembarannya itu. Jarak mereka
hanya lima menit semata.
Sekarang mereka telah sampai. Dengan sesenggukan, Mala minta maaf
pada Sofyan. Mala merasa dirinya belum pantas untuk Sofyan. Mala terlalu
memikirkan lukanya hingga ia tak sadar bahwa bukan dia yang terluka. Mala hanya
bisa menangis. Ada tangan yang mengusap punggungnya.
Ya, Rayhan. Cowok
yang setia setiap dia berada pada titik terendahnya. Mala tersenyum pada
Rayhan. Pada kedalaman hatinya, ia berjanji untuk bangkit. Menghapus benci dan
menyisakan tempat untuk Sofyan di relung hatinya yang paling dalam. Ia bangkit
merasakan tangannya digenggam oleh Rayhan.
Aku sadar waktu tak bisa diputar…
Tapi
aku lebih sadar lagi aku harus menikmati waktu yang saat ini kujalani.
Teruntuk
yang lalu biarlah menjadi saksi hidup pahitku.
Biarkan
kenangan itu tergenggam sebagai pelajaranku yang berharga.
Terima
kasih Sofyan yang mengajariku arti jatuh dan terima kasih Rayhan yang
mengajariku arti bangkit.
Kini
aku menginjak masa depanku menata kembali yang pernah tertunda.
Kamala
Safitri Renjani
0 Comments:
Posting Komentar
Salam cinta, mari berdiskusi di kolom komentar!