Elegi Wisuda Tahun 2020
Lumayan lama berita tentang virus yang menyebar ke seluruh dunia, semua
dipenuhi ketakutan saat satu persatu nyawa manusia tumbang. Tak ada kapan pasti
wabah ini akan berakhir. Akibatkan pula segala kegiatan dialihkan dalam sebuah
kata “online”. Semua tatap muka dialihkan dengan tatap layar. Jabat tangan
dirubah sapaan udara, tanpa memegang. Hal inilah, dibuatnya murung untuk para
murid yang sedang menempuh pembelajaran, apalagi murid yang sedang berjuang
untuk mencapai titik baru dalam hidupnya. Perayaan akhir setiap tahap biasanya
diiringi dengan kata “meriah” berganti sepi penuh khidmat. Tak ada suara
nama-nama yang tersebutkan untuk menuju panggung. Adanya media layar untuk
mengukuhkan para murid yang sudah lulus itu.
Tak ada lagi pengalihan kucir, tak ada hangatnya peluk tangan dari orang yang
berjuang dalam mencapai titik ini, kelulusan. Sungguh mendramatisir jika tangis
haru pecah dan tumpah ruah di pelataran sekolah. Menikmati pesta pergantian
jenjang pendidikan ataupun penempuhan jalan kehidupan lain.
Para guru dibuat kalang kabut, memikirkan ide apa sebagai pengganti wisuda
nyata ini. Kehidupan murid, kenangan murid perlu sedikit perayaan bukan?
Sebagai modal kenangan di usia senja kelak, atau modal saat menjadi pengingat kita di masa depan. Mungkin dari pada ditiadakan lebih memilih melanggar batas sedikit dengan penyederhanaan perayaan, dengan panjat doa bersama nasi kuning penghiasnya.
Mengkolaborasikan ide guru dengan orang tuanya. Menjadikan tempat bernaung
berubah tempat pengukuhan teritimewa. Semua dihiasi, semua bentuk sedemikian
rupa hingga sama persis seperti wisuda sebelumnya. Cukup mewah sekali, bagi
mereka. Menggunakan layar gadget sebagai awalnya. Indah sangat, sebab
kesederhanaan ini belum bisa dinikmati semuanya.
Bagaimana pedesaan terpencing, tanpa gadjet? Apakah peniadaan wisuda tak membuat
mereka hampa? Perayaan atas semangat juang mereka, mempertahankan pendidikan
mereka, batas tempuh mereka? Apakah kata sunyi tepat untuk ini?
Bukan seharusnya sama adilnya dengan yang lain, menikmati kesederhanaan
wisuda? Apakah pelanggaran batas akan membuat mereka disebut egois? Bisakah
perkumpulan sebatas guru dan murid akan ditonton sebagai tindakan tidak
terpuji. Memungkinkan mereka dihujat lebih dan lebih.
Sebab, tetap saja perpisahan akhir perlu dikenang. Sebab tak ada lagi tangis haru bahagia untuk ini. Kenelangsaan, masih menyelimuti. Sedikit keegoisan menjadi penenang sementara.
Untuk kalian yang menjani wisuda online, pun kalian yang tak pernah
merasakan apapun.
O, Corona! Pernahkah engkau tahu
Di balik toga, ada haru yang disembunyikan
Di balik kucir, ada lega yang ditunjukkan
Di balik nama yang tersebutkan, tangis haru keluar
Ada banyak rasa yang keluar untuk sebuah “wisuda”
Hal yang dinantikan setelah pengukuhan, senyum merekah begitu menawan
Ingat berapa keras kita mengusahakan
Namun, sejak engkau datang, menghilanglah tangis haru gembira berganti
sesak tangis menahan lara. Nyawa banyak tumbang dan kau semakin ketara
______
Sampai jumpa di lain post, kawan. Semoga tulisan ini bermanfaat. Entah bermanfaat
untuk apa. Hahaha. Selamat membaca!
Salam hangat dariku
Mya Veronica
bener nih kak, banyak kejadian yang gagal wisuda karena Corona. sakiitt
BalasHapus